DILEMA ISLAM POLITIK DAN DEMOKRATISASI

Thursday, December 13, 2007

DILEMA ISLAM POLITIK DAN DEMOKRATISASI

(Studi kasus Indonesia dan Iran)
Pengantar

Sampai pada tingkat tertentu, masyarakat agama dewasa ini dihadapkan pada situasi keagamaan dalam menghadapi proses globalisasi. Kekhawatiran bahwa perkembangan teknologi meminggirkan nilai-nilai agama, menghancurkan ikatan unit-unit sosial masyarakat dan pada akhirnya memisahkan agama dari dasar-dasar organisasinya, sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatannya yang lebih luas.



Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, sebenarnya disana sini muncul apa yang disebut revitalisasi agama. Hal ini berkembang terutama sejak awal dasawarsa 1980-an. Pada periode itu, pendulum kehidupan sosial politik Amerika Serikat –untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai “sekuler” – bergerak ke “kanan” (Effendi, 2000:16). Fenomena ini, dapat dilihat sebagai pertanda bangkitnya kesadaran kolektif masyarakat akan arti pentingnya agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu. Tapi gerakan keagamaan seperti apa yang sesuai dengan konteks sosio historis ini?

Islam Dan Negara

Akhir-akhir ini, fenomena kebangkitan agama dan demokratisasi banyak menyedot perhatian. Prinsip kebebasan dan arus budaya global hampir merebak ke semua negara. Penguasa dan negara ototiter sudah tidak lagi menarik perhatian dunia, bahkan dihalangi kehadirannya. Revitalisasi agama yang mengarah pada politisasi dan gerakan radikal menjadi pemberitaan yang tak habis diperbincangkan.

Diluar wilayah praksis diatas, di sana sini juga muncul wacana teoritis yang membangkitkan optimisme masyarakat agama bahwa perubahan sosial tidak secara otomatis merupakan ancaman, sosiolog kenamaan seperti Robert Bellah (Bellah, 2000:237) misalnya melihat saling berkaitnya nilai-nilai agama dengan masalah-masalah keduniaan dalam perspektif civil religion yang tumbuh di Amerika Serikat dalam perspektif bahwa agama dalam banyak hal bukan merupakan persoalan yang bersifat “pribadi” (private), tetapi justru berwatak “publik” (public). Artinya, agama sebenarnya lebih banyak mengandung berkaitan dengan kemaslahatan umum, daripada pribadi. Karenanya, agama adalah sesuatu yang seharusnya dan pada dasarnya deprivatized.

Penelitian John L. Esposito dan John O. Voll (1996) menyentakkan kesadaran masyarakat Islam, bahwa dari sekian banyak negara Islam, lebih banyak yang otoriter daripada yang demokratis (Esposito dan Voll, 1996:266). Dalam penelitiannya atas enam negara (Malasya, Iran, Sudan, Aljazair, Mesir, Pakistan), terbukti hanya Malaisya dan Pakistanlah yang gerakan keagamaan dan rakyatnya mendekati kultur demokrasi. Sedang yang lainnya justru masih menjalankan gerakan radikal, fundamental, dan merongrong kekuasaan yang sah. Mereka juga menjelaskan, bahwa kesesuaian Islam dan demokrasi tergantung tradisi yang ada pada negara-negara masing-masing. Walaupun pemerintahan yang resmi dikuasai Islam hanyalah Iran dan Sudan, namun itu belum menjamin adanya demokrasi di negara tersebut.

Kenyataan di atas harus kita akui secara obyektif, bahwa meskipun Rasulullah di Madinah telah mewariskan Piagam Madinah yang menurut Robert N. Bellah lebih modern dari zamannya akan tetapi perilaku umatnya masih jauh dari sikap Nabi yang diteladaninya (Bellah, 2000:56). Masyarakat egaliter dan penghargaan sesama yang nampak pada zaman Nabi, lambat laun terhapus dengan terciptanya sistem monarki pada zaman dinasti Umawiyah, Abbasiyah, dan seterusnya.

Pasca wafatnya Nabi, perdebatan epistemologis tentang hubungan agama dan negara pun mengemuka dengan ramai di kalangan Islam, tentunya berdasarkan pemahaman keagamaan yang disandarkan pada teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu juga perdebatan tentang kesesuaian antara Islam dan Demokrasi, Islam dan Hak non Muslim, serta permasalahannya kontemporer lainnya. Tidak kurang dari Fazlur Rahman, Ali Abdur Raziq, Husain Haekal, Abdul Karim Soroush, dan sebagainya menyumbangkan pemikiran tentang hal itu. Secara lebih lengkap, Charles Kurzman dalam Wacana Islam Liberal (2001) menuliskan dan mengumpulkan tentang pengelompokan pola keIslaman dan isu-isu yang diangkatnya.

Perdebatan ini tentu saja positif, akan tetapi tentu ada aspek lain yang mesti diperhatikan, yaitu aspek aksiologis dan problem transformasi umat. Anehnya, perdebatan epistemologis yang ramai menyeruak itu, kurang diimbangi oleh pelaksanaan konsep demokrasi. Bahkan pembangunan sistem dan pembentukan struktur demokrasi nyaris absen dari agenda penguasa dan pemikir Islam.

Juan J. Linz (2001) menyebutkan standar negara yang bisa dikategorikan demokratis. Standar itu adalah: adanya masyarakat sipil yang otonom, adanya masyarakat politik yang berjiwa negarawan, adanya efektivitas birokrasi, adanya masyarakat ekonomi yang bebas dan tekendali, dan terakhir adanya konstitusi (hukum) yang harus dipatuhi dan ditegakkan secara bersama-sama (Linz, 2001:38).

Maka, umat Islam baik yang duduk sebagai penguasa ataupun yang menjadi warga negara biasa, harus bersama-sama mewujudkan keenam hal tersebut. Karena, justru penegakan hukum dan prinsip kebebasanlah yang kurang tampak pada mayoritas pemerintahan Islam atau negara yang mayoritas penduduknya Islam.

Bercermin dari kasus Indonesia dan Iran

Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar-akar geneologisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke 13 dan awal abad ke 14, ketika Islam pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di nusantara ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian inilah, dalam dialognya yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat, Islam terlibat politik (Effendi, 1998:21).

Pada kenyataannya, sepanjang perkembangannya di Indonesia, Islam telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Meskipun demikian, menurut sejumlah pengamat, hal ini tidak serta merta mengandaikan bahwa Islam secara inheren adalah agama politik (Smith, 1974).

Dengan latar belakang sejarah yang demikian, maka wajar apabila organisasi berbasis umat Islam, yang lahir di Indonesia, memiliki watak pergerakannya yang tidak lepas dari keterhubungannya dengan persoalan politik (kenegaraan). Setidaknya terdapat tiga aliran pemikiran politik yang menjelaskan hubungan Islam dan negara (Sjadjali, 1990:132). Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni yang hanya mengyangkut hubungan antra manusia dan Tuhannya. Sebaliknya, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Aliran ini disebut revivalisme, yakni suatu faham politik yang menginginkan kebangkitan Islam lewat praktek politik Islam yang diteladani oleh nabi Muhammad SAW dan Khulafau Al-Rasydun. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Syekh Hasan Al Banna, Sayid Qutb, syekh Muhammad Rasyd Ridha dan Maulana A. Al Maududi.

Aliran Kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan masalah kenegaraan. Aliran ini berpendapat bahwa nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas mengajak manusia untuk kembali pada kehidupan yang mulia, dan nabi tidak pernah dimaksudakan untuk mendirikan dan mengepalai sebuah negara. Aliran ini disebut sekularisme, yakni suatu paham yang memisahkan agama dari negara, juga menolak determinisme bentuk negara (politik) pada Islam. Paham ini di dukun oleh Ali Abd Al Raziq dan Thaha Husein.

Aliran Ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap. Yang juga memiliki sistem ketatanegaraan. Tetapi juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara. Pentingnya tata nilai bagi kehidupan bernegara, sebagaimana tujuan negara yang harus mewujudkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan subtansial masyarakat, membuat negara memerlukan agama. Dalam konteks inilah, disebut simbiotisme. Adapun tokoh-tokohnya adalah Al Mawardi. Al gozali, Dr. Muhammad Husein Haikal dan Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu yang berpendapat bahwa Islam bukan agama yang semata-mata, melainkan juga mempunyai hukum-hukum yang mengatur sesama muslim dan sesama mahluk hidup lainnya, yang untuk pelaksanaan dan pengawasannya memerlukan penguasa, lengkap dengan aparatnnya. Dan tugas tersebut merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahannya (Ibid :132).

Sementara itu, hubungan antara Islam dan negara di Indonesia sendiri pada sebagian tahapan sejarahnya merupakan cerita antagonistis, saling berhadap-hadapan. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini – yang pada dasarnya sebagian besar muslim - mengenai Indonesia yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara bercorak Islam atau nasionalis (Effendi, Opcit : 160).

Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar Islam diakui dan diterima sebagai dasar idiologi negara. Sementara konstruk kenegaraan yang kedua menghendaki agar Indonesia didasarkan atas Pancasila, sebuah idiologi yang sudah di-dekonfessionalisasi (Ibid : 23-38).

Menurut taufik Abdullah, dasa warsa 1920-an dan 1930-an merupakan dasawarsa ideologi dalam sejarah modern Indonesia. Dimasa-masa inilah berbagai jenis ideologi yang kemudian akan berpengaruh dalam pertumbuhan keagamaan dan dasar ideologi perjuangan mulai diperdebatkan di kalangan kaum pergerakan nasional (Abdullah, 1987:15). Ideologisasi ini mengakibatkan, pertama makin diperjelasnya struktur intern panji-panji Islam, sehingga perbedaan yang kemudian bersifat aliran ini bertambah rumit karena adanya pengaruh ide yang bersumber dari Barat, seperti Marxisme dan Nasionalisme sekuler (Ibid : 30).

Kritik Olivier Roy sesungguhnya ada yang relevan untuk politik Islam Indonesia, yaitu adanya keengganan kalangan politik Islam untuk membangun sumberdaya manusia, terutama lewat pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien (Oliver, 2001:18). Selama ini, kekuatan politik Islam lebih banyak dikerahkan pada aspek ideologis, simbolis, dan kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat, hal ini tidak beda dengan kondisi negara Iran yang hampir saja menjadi rujukan pola pemerintahan Islam di dunia.

Dalam banyak segi, republik Islam Iran adalah bentuk pemerintahan yang paling mendekati demokrasi. Khomeini mendirikan negara Islam melalui konsensus rakyat sebagian besar orang Iran masih tetap mendukung rezim itu. Akan tetapi, bagi mereka yang keberatan dengan hukum Islam, konsekuensi-konsekuensi itu sangat mengerikan.” Banyak orang mungkin memperdebatkan dukungan mayoritas rakyat terhadap rezim itu. Namun, sifat semidemokratisnya sangat jelas (Esposito dan Voll, 1999:84).

Di satu pihak, Iran telah memfungsikan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ia tetap berdiri setelah Ayatullah Khomeini meninggal, dan telah memilih seorang presiden dan parlemen yang melibatkan perdebatan seru dan, dalam batas-batas tertentu, bebas untuk berselisih pendapat dengan pemimpinnya. Di lain pihak, Iran menikmati pluralisme terbatas (Ibid : 97). Kebebasan untuk mengungkapkan diri dibatasi oleh ideologi Islam Iran dan kepercayaan bahwa hukum dan nilai-nilai Islam itulah yang merupakan tuntunan bagi masyarakat. Individu, organisasi, partai politik dan lembaga harus beroperasi di dalam parameter-parameter identitas dan komitmen Islam revolusioner Iran yang sering berubah-ubah.

Dengan demikian, ideologi dan tuntunan Islami dari negara itu berimplikasi kepada kontrol negara atas pers dan media massa, serta penerapan aturan yang menetapkan minuman, pakaian (bagi kaum wanita dan kaum pria) dan Ibadah. Namun bahkan di sini, pers, sebagaimana parlemen Iran, sangat beraneka ragam dan, dalam batas-batas tertentu, bersikap kritis sejak soal kepemimpinan dan land reform hingga pendidikan, perdagangan dengan barat, dan kedudukan kaum perempuan.

Sejak awal berdirinya republik Islam itu, betapapun karismatis dan berkuasanya Ayatullah Khomeini, berbagai fraksi ramai bersaing untuk meraih kekuasaan dan, demikian, tolenransi pemerintah terhadap pluralisme serta perbedaan pendapat benar-benar diuji (Azyumardi, 1996:75). Meskipun kepemimpinan di Irak tetap setia pada revolusi, perbedaan pendapat dan kebijakan yang penting berlangsung di antara fraksi-fraksi yang bersaing menyangkut isu-isu kebijakan dalam negeri dan luar negeri seperti land reform, nasionalisasi, penyebarluasan revolusi ke luar negeri dan hubungan dengan barat.

Upaya-upaya pasca revolusi untuk menawarkan dan melaksanakan alternatif Islam bagi program modernisasi Syah itu telah memunculkan perbedaan yang mendalam antara pihak yang mendukung dan reformasi sosio-ekonomi radikal melalui kontrol negaea atas ekonomi. Tafsir-tafsir yang saling bersaing punmuncul akibat perbedaan tafsir ikhwal hukum Islam dan perbedaan kepentingan kelompok yang saling bertentangan.

Suara mayoritas dalam parlemen berupaya meloloskan undang-undang yang diharapkan dapat melahirkan reformasi sosial sejati melalui land reform, perluasan kontrol negara atas ekonomi, dan pembatasan usaha bebas. Para pedagang yang telah menjadi tulang punggung finansial bagi para ulama dan revolusi, bersama dengan para pemilik tanah(di antara mereka itu adalah sejumlah ulama) tegas-tegas menetang upaya semacam itu. Secara efektif mereka melobi Dewan Pelindung sehingga dewan itu secara konsisten menveto undang-undang reformasi tersebut karena bertentangan dengan hukum Islam. Sementara kaum tradisionalis ini cukup puas dengan mengutip norma-norma yang telah berusia berabad-abad, para tokoh pembaharu yang lebih radikal menegaskan bahwa keadaan-keadaan baru itu membutuhkan tafsir-tafsir hukum yang baru pula.

Perbedaan menyangkut kebijakan ekonomi itu sama tajamnya dengan perbedaan politik di antara kaum pragmatis dengan kaum garis keras yang radikal. Kubu pertama pada 1980-an diwakili oleh Hashemi Rafsanjani, juru bicara parlemen, Ali Akbar Velayati, menteri luar negeri dan Ali Kha meini, presiden. Kubu kedua dipimpin oleh Hussein Musavi, perdana menteri, dan Ali Mohtashemi, menteri dalam negeri. Perbedaan antarfraksi ini tampak jelas dalam searngkaian peristiwa. Pada Oktober 1986, Mehdi Hashemi, kepala Biro yang bertanggung jawab mengekspor revolusi, ditangkap dan kemudian dihukum mati. Kubu garis keras membocorkan imformasi kepada pers mengenai pertemuan-pertemuan Robert McFarlane, mantan penasehat keamanan nsional AS, dan Rafsanjasi, dan mengenai penjualan persenjataan AS kepada Iran guna membebaskan para sandera Amerika di Libanon (Esposito dan Voll, Op.Cit. : 98).

Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. “mengingat kecongkakan dan kepongahan Syah, penggantinya yang bersorban itu justru mampu memimpin negara yang jauh lebih kukuh. Republik teokrasi itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan mayarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia (Esposito, 1990:249). Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini mennadai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal itu masih diperdebatkan. Namun ia telah memberikan landasan bagi perdebatan publik yang lebih besar dan bagi konsensus yang memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era pasca Khomeini. “Konsensus luas yang memungkinkan terjadinya transisi kekuasaan yang lancar di Iran tercapai di musim semi 1989 setelah melalui perdebatan terbuka yang luar biasa selama hampir satu tahun,” dan secara tepat diramalkan pada waktu itu bahwa pada era baru ini, “pilitik Iran akan banyak diwarnai tawar-menawar intrarezim, perdebatan nasional dan pencapaian dan pencapaian-ulang konsensus yang dapat diterima oleh sebagian besar aktor-aktor penting dan para pendukung mereka (Esposito dan Voll, Op.Cit.:99).

Pada ulang tahun keenam belas revolusi (1995), Republik Islam juga berhasil mempertahankan diri selama lebih dari setengah dasawarsa setelah khomeini, dan tidak lagi dipandang semat-mata sebagai rezim “pasca Khomaini”. Dalam kaitan dengan isu-isu dasar demokrasi dan Republik Islam, ada penegasan yang berkesinambungan atas pentingnya partisipasi rakyat, konsensus, dan kebebasan.

Dalam struktur politik Iran yang sedang berkembang, tidak ada sistem multipartai atau oposisi ekeftif yang diizinkan membuka suara. Bahkan kelompok-kelompok oposisi yang lebih mendukung perubahan damai dan revolusiner daripada penggulingan melalui kekerasan, pada kesempatan peringatan ulang tahun keenam belas, menyerukan kepada semua kelompok agar “bersatu untuk menekan para pemimpin Islam di Iran agar menghentikan gertakan mereka, menyelenggarakan pemilihan umum bebas, dan mengembalikan pemeritahan ke tangan rakyat. Namun pemilihan umum reguler telah diselenggarakan dan mereka tetap ditantang secara aktif oleh orang-orang yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan jika pendapat-pendapat itu berada dalam perspektif Republik Islam.

Paling sedikit, pemilihan-pemilihan umum itu telah menjadi arena bagi perdebatan antara fraksi-fraksi utama. Ini tampak dengan jelas pada 1992 dalam pemilihan umum parlemen setelah kematian Khomeini. Pada waktu itu, dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum reguler secara lambat laun berkembang menjadi proses pengaturan persaingan fraksi di antara blok-blok kekuasaan agama di Iran (Ibid.:99).

Laporan HAM yang diterbitkan oleh Freedom House pada 1987-1988, sebuah lembaga independen HAM yang didirikan pada 1941, menunjukkan bahwa pelaksanaan HAM di negara-negara Islam cukup memprihatinkan. Laporan itu menunjukkan bahwa tidak ada negara Islam atau negara Muslim yang dapat dikategorikan “bebas”. Jika diperiksa, rekor negara-negara yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah NF (not free (tidak bebas)) atau PF (partly free (setengah bebas)). Indonesia dan Malasiya, misalnya dinilai negara yang dikategorikan bernilai NF (Gastil, 1988:7). Laporan Freedom itu disusun berdasarkan masukan-masukan dari ahli-ahli kawasan, wartawan, konsultan internasional, berbagai organisasi nonpemerintah (NGO), dan pakar-pakar hak asasi manusia. Landasan klasifikasi Freedom House adalah studi komparatif dan empiris, dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai rujukan. Jadi, obyektifikasi laporan itu paling tidak relatif bisa diterima kebenarannya.

Seiring dengan dihapuskannya perbudakan, maka sekarang ini banyak negara Islam yang juga mengintrodusir hukum Barat sebagai pelengkap hukum Islam yang terkodifikasi dalam Syari’ah. Maka, banyak negara-negara Islam yang mengakui dan menjalankan persamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, kebebasan beragama, dan hukum domestik lainnya. Namun, ada juga beberapa negara Islam yang hingga saat ini masih memberlakukan diskriminasi terhadap hak wanita dan kaum non agama selain Islam.

Iran, Pakistan, Saudi Arabia, dan Sudan adalah contoh negara-negara Islam yang belum menerima Deklarasi HAM Universal dan juga belum mengakui hak persamaan terhadap hak perempuan dan umat agama lain. Keempat negara itu masih berpegang teguh terhadap Syari’ah, karena ia dianggap sebagai cara hidup Islam berdasakan wahyu Ilahi yang tidak dapat digantikan oleh sistem apapun dan dari manapun. Menurut mereka juga, aturan-aturan Syari’ah harus terus berlaku dalam persoalan-persoalan keluarga dan waris di seluruh dunia Muslim. Akibatnya, seluruh aturan Syari’ah yang mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan zaman atau melanggar hak asasi kaum perempuan dan kebebasan beragama tetap dilegalkan.

Sedangkan Afghanistan, Bahrain, Irak, Libya dan Syria—meskipun hukum Islam di negara itu hanya memainkan peranan pinggiran, pelanggaran HAM di negara tersebut juga mendapatkan sorotan tajam. Karena, penghargaan dan akomodasi terhadap hak perempuan dan penghormatan terhadap umat agama lain di negara-negara tersebut berjalan secara kurang baik. Jadi, pada dasarnya pelanggaran HAM tidak tergantung pada pelaksanaan hukum Islam secara formal di suatu negara. Sebab, pelanggaran HAM tersebut bisa berbentuk tindakan penganiayaan rutin, pemenjaraan dan pembunuhan lawan politik, hukuman mati secara kilat pada pelaku tindak pidana, kekerasan terhadap kaum minoritas, penangkapan sewenang-wenang, dan proses peradilan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Setidaknya, tiga negara (Sudan, Pakistan, dan Iran) akan menjelaskan praktek HAM di kalangan masyarakat Islam kontemporer. Sejak Pakistan dan Sudan melakukan proyek Islamisasi, hak-hak kaum perempuan dan sipil yang sebelumnya mendapat legislasi dari Dewan Peradilan yang progresif, dicabut untuk selamanya.

Iran adalah negara yang juga disorot atas pelanggarannya terhadap HAM. Pasca jatuhnya rezim Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979 oleh revolusi Islam Iran, maka negara Islam memproklamirkan dirinya sebagai negara Islam di bawah kepemimpinan para mullah. Imam Khomeini yang dinobatkan menjadi kepala Wilayah al-Faqih, memberlakukan hukum Islam sebagai dasar konstitusi negara yang mengatur segala urusan, baik agama maupun politik.

Akan tetapi, pelaksanaan HAM yang mengalami ketersendatan pada masa Reza Shah, tidak mencapai kemajuan yang cukup berarti pada masa Khomeini. Karena, pada masa Khomeini, pelanggaran HAM seperti yang disebutkan di atas masih banyak terjadi di negeri ini. Bahkan, kebebasan perempuan dan penghormatan terhadap kaum non Muslim mengalami kemunduran yang cukup memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan merosotnya porsi kursi keterwakilan perempuan di parlemen sangat mencolok. Di samping itu kasus fatwa pemurtadan dan hukuman mati dari Imam Khomeini terhadap Salman Rusdhie juga dianggap sebagai pelecehan terhadap kebebasan berpikir dan beragama (an-Na’im, 1996:347-349)

Diskriminasi atas nama agama dan gender jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (Ibid :339-344). Diskriminasi atas nama agama telah dibangun dengan berbagai alasan besar yang berasal dari konflik dan perang masa lalu yang tidak perlu dipelihara lagi. Sedangkan diskrimasi gender banyak berasal dari doktrin teks agama dan budaya masayarakat setempat pada masa lampau yang kurang menghargai perempuan. Sekarang ini, diskriminasi gender dan agama secara moral dan politik sekarang ini tentu tidak bisa diterima oleh masyarakat dunia.

Pengalaman Iran tidak memberikan jawaban pasti bagi persoalan hubungan antara Islam dan demokrasi, Iran memang telah menunjukan sejauh mana isu-isu seputar patisipasi politik rakyat dan konsesus telah menjadi bagian dari cakrawala politik di Republik Islam Iran, dan dimanfaatkan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak oposisi, dan dengan demikian membuka berbagai jalan untukmendefinisikan demokrasi. Bagi sebagian orang, pengalaman Iran menegaskan kemungkinan untuk menciptakan suatu demokrasi Islam. Bagi sebagaian yang lain, ia hanya menegaskan watak ototriter pranata-pranata dan praktik politik Muslim.

Penutup

Politik Islam Indonesia dan Iran ke depan haruslah melakukan –meminjam istilah Kuntowijoyo- obyektifikasi terhadap praktek perjuangan politiknya (Kuntowijoyo, 2001:300). Artinya, mereka yang bergerak di level partai dan ormas keIslaman seyogyanya memperjuangkan aspek-aspek substansi Islam, memperbaiki pendidikan, memberantas KKN, dan bersifat toleran terhadap umat agama lain demi melakukan pembebasan kemanusiaan. Di samping itu, umat Islam yang bergerak di jalur lain, hendaknya tidak apatis dan mau melakukan sinergi positif dengan kelompok di atas. Pola-pola oposisi biner seharusnya tidak lagi dijadikan paradigma pandangan umat Islam.

Memahami makna atau posisi agama sebagaimana digambarkan di atas adalah satu hal. Meletakanya dalam situasi yang lebih real, ketika agama secara empiris dihubungkan dengan dengan berbagai persoalan sosial –kemasyarakatan, merupakan hal lain. Dan dalam konteks yang terakhir ini sering ditemukan ketegangan-ketegangan antar kedua wilayah tersebut-agama dan persoalan keduniaan. Ini benar, khususnya jika pola hubungan antara agama dan persoalan keduniaan yang ingin dikembangkan bersifat legalistik dan formalistik. Sebab, pola seperti ini mempunyai kecenderungan untuk mengesampingkan realitas spasio-temporal dan partikularitas di mana suatu masyarakat agama hidup bertetangga. Simbol-simbol formal-legal dan bukan substansi akan dengan mudah berbenturan dengan realitas sosial yang majemuk (Azyumardi, 2000:149).

Dasar dari pandangan seperti ini sebenarnya sederhana. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. Dalam konteks seperti itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, labih-lebih Islam, hal ini dikarenakan oleh watak omnipresent agama, yaitu bahwa agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir di mana-mana”, ikut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur sosial, budaya. Ekonomi, politik serta kebijakan publik. Dengan ciri seperti itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh wacana kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.

Berkaca dari ini semua akhirnya, politisi Islam sekarang sudah selayaknya tidak hanya terjebak pada simbol-simbol politik yang ada, entah sosialis, nasionalis, maupun agamis. Yang dibutuhkan sekarang adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas tindakan dan kebijakan politik demi demokratisasi. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum, moral, dan budaya yang terjadi di dunia Islam sudah waktunya diselesaikan bersama tanpa terjebak pada simbol warna golongan dan ideologi.

Oleh : Anjar Nugroho

Kategori